Resume Presentasi Kelompok 6 (Mommies Six Asyiikkk)
PERTANYAAN DAN JAWABAN
1. Berbeda dengan pemahaman orang Barat yang menyatakan bahwa anak itu ibarat kertas putih, tinggal orangtuanya yang mengisinya. Sedangkan dalam Islam, seorang bayi sudah mempunyai program software, sudah ada fitrahnya, pertama ia (bayi) itu Islam. Boleh minta dijabarkan letak perbedaan & tindakan pada kedua pendapat tsb?
Jawaban : Pandangan John Locke (Empirisme) Menurut beliau bahwa anak lahir ke dunia ini seperti kertas kosong (putih) atau meja berlapis lilin (tabula rasa) yang belum ada tulisan di atasnya. Kertas atau meja tersebut bisa ditulisi sekehendak hati yang menulisnya, dan lingkungan itulah yang menulisi kertas kosong putih tersebut. Menurut teori ini, kepribadian berdasar kepada lingkungan, yaitu lingkungan tidak berjiwa yang meliputi benda(benda mati, seperti tanah,air, batu, dan sebagainya, dan lingkungan berjiwa yang meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan.Paham ini sejalan dengan paham Helvatus seorang filsuv yunani, yang berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan jiwa dan watak yang hampir sama,yaitu bersih dan suci. Pendidikan dan lingkunganlah yang akan membuat atau membentuk anak tersebut sesuai yang diinginkan. Selain itu teori ini sependapat dengan ungkapan Claode Adrien Helvatius yang mengatakan lingkungan dan pendidikan dapat membentuk manusia kearah mana saja yang dikehendaki pendidik. Teori ini sejalan dengan teori behavioristik, dalam behavioristik ada tiga teori, yaitu stimulus dan respons conditioning, dan reinforcement. kelompok teori ini berangkat dari asumsi, bahwa anak tidak memiliki pembawaan potensi apaapa pada kelahirannya. Sedangkan sudah jelas Allah berfirman dalam Surah (Ar-Rūm):30 - Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, Dan dalam hadish shahih لا ق ًب ن لا ىل ص الله هٌ ل ع و مل س ( لك دو لوم د لو ٌ ىل ع ةرطف لا هاو بأ ف هنادوه ٌ وأ هنارص ن ٌ وأ هناسجمٌ “Setiap anak dilahirkan dlm keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yg menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. al-Bukhari&Muslim) http://www.academia.edu/12184008/Fitrah_Manusia_dalam_Pandangan_Islam_dan_Barat
2. Bagaimana cara mendidik anak dengan status single parent agar tidak terjadi penyimpangan pada anak ?
Jawaban: Sungguh tangguh para ibu atau para ayah yang sedang berjuang sendiri dalam membersamai anak. Kalau dr bbrp kajian FBE bersama Ust. Harry Santosa bahwa tak bisa seorang ibu berperan menjadi seorang ayah sekaligus atau sebaliknya dalam hal menumbuhkan fitrah seksualitas. Menguatkannya jika dalam kondisi demikian, maka :
a. Bergabunglah dengan komunitas pendidikan. Misal komunitas home education. Agar anak tak kehilangan figur ayah/ibu.
b. Jika anak sudah usia 7 ke atas, sesekali boleh dititipkan 1 atau 2 malam pada keluarga sholih yang kita sudah sepaham ttg pendidikan anak. Usia 10 tahun bisa di magangkan di keluarga sholih. Keluarga sholih , yg punya pemahaman yg sama dengan kita ttg penumbuhan fitrah seksualitas.
c. Cari sosok pengganti (bisa paman, bibi, atau kakek, nenek).
d. Yang terpenting anak tidak kehilangan contoh/teladan sbg ayah/ibu.
3. Alhamdulillah dalam rumah, saya sama pasangan gak ada masalah yg berarti, kita kompak kecuali perihal kentut yg masih semena2 buangnya. Tapi saya dicoba dengan sosialisasi di luar, yg beberapa kali Alhamdulillah diangkat jadi ketua tapi tertekan akhirnya melepaskan diri, Sekarang lagi makin seperti org yang gak jujur, gak bisa punya pendirian, karena dipaksa keadaan. Bagaimana nasib anak-anak yang lihat emaknya begini? Kalau tiap saya ikut komunitas terus selalu mundur karena masalah? Apa akan ada efek negatif mereka memandang emaknya? Efek samping apa yg terburuk yg bisa terjadi sama mereka? J2. Bagaimana cara mendidik anak dengan status single parent agar tidak terjadi penyimpangan pada anak ? Jawaban: Sungguh tangguh para ibu atau para ayah yang sedang berjuang sendiri dalam membersamai anak. Kalau dr bbrp kajian FBE bersama Ust. Harry Santosa bahwa tak bisa seorang ibu berperan menjadi seorang ayah sekaligus atau sebaliknya dalam hal menumbuhkan fitrah seksualitas. Menguatkannya jika dalam kondisi demikian, maka : a. Bergabunglah dengan komunitas pendidikan. Misal komunitas home education. Agar anak tak kehilangan figur ayah/ibu. b. Jika anak sudah usia 7 ke atas, sesekali boleh dititipkan 1 atau 2 malam pada keluarga sholih yang kita sudah sepaham ttg pendidikan anak. Usia 10 tahun bisa di magangkan di keluarga sholih. Keluarga sholih , yg punya pemahaman yg sama dengan kita ttg penumbuhan fitrah seksualitas. c. Cari sosok pengganti (bisa paman, bibi, atau kakek, nenek). d. Yang terpenting anak tidak kehilangan contoh/teladan sbg ayah/ibu. 3. Alhamdulillah dalam rumah, saya sama pasangan gak ada masalah yg berarti, kita kompak kecuali perihal kentut yg masih semena2 buangnya. Tapi saya dicoba dengan sosialisasi di luar, yg beberapa kali Alhamdulillah diangkat jadi ketua tapi tertekan akhirnya melepaskan diri, Sekarang lagi makin seperti org yang gak jujur, gak bisa punya pendirian, karena dipaksa keadaan. Bagaimana nasib anak-anak yang lihat emaknya begini? Kalau tiap saya ikut komunitas terus selalu mundur karena masalah? Apa akan ada efek negatif mereka memandang emaknya? Efek samping apa yg terburuk yg bisa terjadi sama mereka? Jawaban: Bismillaah, Saya coba memahami pertanyaan dari mak eun. Boleh dikoreksi bila kurang tepat yaa mak eun.. Di sini maksudnya, mak eun merasa kesulitan dan kerap bertemu masalah ketika beraktivitas publik. (Aktivitas publik disini bukan hanya bagi ibu yang bekerja tetapi juga saat ibu menceburkan diri dalam kegiatan sosial atau lainnya). Masalah ini mau tidak mau terbawa ke dalam perasaan serta aktivitas domestik, yang suka atau tidak suka akan disaksikan oleh anak dan suami. Saat membaca ini, terlintas materi ibu professional saat kita masih duduk di kelas matrikulasi. Ketika itu disampaikan bahwa ketika kita berperan dalam aktivitas publik, namun ternyata kita tidak mampu memanage-nya dengan baik hingga terbawa ke ranah domestik, maka bisa dipastikan ada sesuatu yang salah. Langkah terbaik adalah dengan keluar dari ranah publik dan fokus dahulu dalam domestik. Sampai bisa dipastikan dalam diri ini bahwa apapun yang terjadi di luar tidak berpengaruh apapun pada rasa dan polah kita. Bukan berarti tidak boleh ambil bagian dalam beraktivitas sosial. Boleh, dan itu bagus. Hanya saja, ketika badai menerpa, siapkah kita untuk menghadapinya dan tidak lari?
Jawaban: Bismillaah, Saya coba memahami pertanyaan dari mak eun. Boleh dikoreksi bila kurang tepat yaa mak eun.. Di sini maksudnya, mak eun merasa kesulitan dan kerap bertemu masalah ketika beraktivitas publik. (Aktivitas publik disini bukan hanya bagi ibu yang bekerja tetapi juga saat ibu menceburkan diri dalam kegiatan sosial atau lainnya). Masalah ini mau tidak mau terbawa ke dalam perasaan serta aktivitas domestik, yang suka atau tidak suka akan disaksikan oleh anak dan suami. Saat membaca ini, terlintas materi ibu professional saat kita masih duduk di kelas matrikulasi. Ketika itu disampaikan bahwa ketika kita berperan dalam aktivitas publik, namun ternyata kita tidak mampu memanage-nya dengan baik hingga terbawa ke ranah domestik, maka bisa dipastikan ada sesuatu yang salah. Langkah terbaik adalah dengan keluar dari ranah publik dan fokus dahulu dalam domestik. Sampai bisa dipastikan dalam diri ini bahwa apapun yang terjadi di luar tidak berpengaruh apapun pada rasa dan polah kita. Bukan berarti tidak boleh ambil bagian dalam beraktivitas sosial. Boleh, dan itu bagus. Hanya saja, ketika badai menerpa, siapkah kita untuk menghadapinya dan tidak lari?
Adapun bergaul dalam masyarakat, itu sangat dianjurkan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menganjurkan kita untuk bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik : ا الله ام ٌ نك ، ب أو ٌسلا نس لا اه م ، و لا انلا ل ب س “Bertaqwalah engkau kepada Allah dimanapun berada, dan perbuatan buruk itu hendaknya diikuti dengan perbuatan baik yang bisa menghapus dosanya, dan pergaulilah orang-orang dengan akhlaq yang baik” (HR. At Tirmidzi 1906, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami, 97). Namun ketika kita menemukan kemunkaran yang mana kita tidak dapat merubah dengan tangan dan lisan. Maka kita cukup doakan, jangan sampai kita ikut terseret ke dalamnya. Bila sudah ada tanda-tanda seperti itu, maka keluarlah dan carilah aktivitas yang lebih baik. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: اونوا و ىلع ربلا و لاو و اونوا ىلع م ا اود لاو “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2). Dan ingatlah bahwasanya kita dianjurkan pula untuk bersabar terhadap gangguan manusia. Sebab di bumi manapun kita bepijak, hal semacam ini pasti ada dan tak terelakkan. Diantaranya juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: ؤملا م يذلا طلا ٌ انلا ربصٌو ىلع مهاذأ رٌ م يذلا طلا ٌ انلا و ربصٌ ىلع مهاذأ “Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka” (HR. At Tirmidzi 2507, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 388, Ahmad 5/365, syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan hadits ini shahih dalam Mafatihul Fiqh 44) Jadi, meski kelak harus keluar dari ranah publik, tetap jadikan akhlak sebagai hiasan muamalah terbaik.. Wallahu'alam Referensi: https://muslim.or.id/19472-mana-yang-lebih-utama-uzlah-atau-bergaul-dengan
PERTANYAAN DAN JAWABAN
1. Berbeda dengan pemahaman orang Barat yang menyatakan bahwa anak itu ibarat kertas putih, tinggal orangtuanya yang mengisinya. Sedangkan dalam Islam, seorang bayi sudah mempunyai program software, sudah ada fitrahnya, pertama ia (bayi) itu Islam. Boleh minta dijabarkan letak perbedaan & tindakan pada kedua pendapat tsb?
Jawaban : Pandangan John Locke (Empirisme) Menurut beliau bahwa anak lahir ke dunia ini seperti kertas kosong (putih) atau meja berlapis lilin (tabula rasa) yang belum ada tulisan di atasnya. Kertas atau meja tersebut bisa ditulisi sekehendak hati yang menulisnya, dan lingkungan itulah yang menulisi kertas kosong putih tersebut. Menurut teori ini, kepribadian berdasar kepada lingkungan, yaitu lingkungan tidak berjiwa yang meliputi benda(benda mati, seperti tanah,air, batu, dan sebagainya, dan lingkungan berjiwa yang meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan.Paham ini sejalan dengan paham Helvatus seorang filsuv yunani, yang berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan jiwa dan watak yang hampir sama,yaitu bersih dan suci. Pendidikan dan lingkunganlah yang akan membuat atau membentuk anak tersebut sesuai yang diinginkan. Selain itu teori ini sependapat dengan ungkapan Claode Adrien Helvatius yang mengatakan lingkungan dan pendidikan dapat membentuk manusia kearah mana saja yang dikehendaki pendidik. Teori ini sejalan dengan teori behavioristik, dalam behavioristik ada tiga teori, yaitu stimulus dan respons conditioning, dan reinforcement. kelompok teori ini berangkat dari asumsi, bahwa anak tidak memiliki pembawaan potensi apaapa pada kelahirannya. Sedangkan sudah jelas Allah berfirman dalam Surah (Ar-Rūm):30 - Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, Dan dalam hadish shahih لا ق ًب ن لا ىل ص الله هٌ ل ع و مل س ( لك دو لوم د لو ٌ ىل ع ةرطف لا هاو بأ ف هنادوه ٌ وأ هنارص ن ٌ وأ هناسجمٌ “Setiap anak dilahirkan dlm keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yg menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. al-Bukhari&Muslim) http://www.academia.edu/12184008/Fitrah_Manusia_dalam_Pandangan_Islam_dan_Barat
2. Bagaimana cara mendidik anak dengan status single parent agar tidak terjadi penyimpangan pada anak ?
Jawaban: Sungguh tangguh para ibu atau para ayah yang sedang berjuang sendiri dalam membersamai anak. Kalau dr bbrp kajian FBE bersama Ust. Harry Santosa bahwa tak bisa seorang ibu berperan menjadi seorang ayah sekaligus atau sebaliknya dalam hal menumbuhkan fitrah seksualitas. Menguatkannya jika dalam kondisi demikian, maka :
a. Bergabunglah dengan komunitas pendidikan. Misal komunitas home education. Agar anak tak kehilangan figur ayah/ibu.
b. Jika anak sudah usia 7 ke atas, sesekali boleh dititipkan 1 atau 2 malam pada keluarga sholih yang kita sudah sepaham ttg pendidikan anak. Usia 10 tahun bisa di magangkan di keluarga sholih. Keluarga sholih , yg punya pemahaman yg sama dengan kita ttg penumbuhan fitrah seksualitas.
c. Cari sosok pengganti (bisa paman, bibi, atau kakek, nenek).
d. Yang terpenting anak tidak kehilangan contoh/teladan sbg ayah/ibu.
3. Alhamdulillah dalam rumah, saya sama pasangan gak ada masalah yg berarti, kita kompak kecuali perihal kentut yg masih semena2 buangnya. Tapi saya dicoba dengan sosialisasi di luar, yg beberapa kali Alhamdulillah diangkat jadi ketua tapi tertekan akhirnya melepaskan diri, Sekarang lagi makin seperti org yang gak jujur, gak bisa punya pendirian, karena dipaksa keadaan. Bagaimana nasib anak-anak yang lihat emaknya begini? Kalau tiap saya ikut komunitas terus selalu mundur karena masalah? Apa akan ada efek negatif mereka memandang emaknya? Efek samping apa yg terburuk yg bisa terjadi sama mereka? J2. Bagaimana cara mendidik anak dengan status single parent agar tidak terjadi penyimpangan pada anak ? Jawaban: Sungguh tangguh para ibu atau para ayah yang sedang berjuang sendiri dalam membersamai anak. Kalau dr bbrp kajian FBE bersama Ust. Harry Santosa bahwa tak bisa seorang ibu berperan menjadi seorang ayah sekaligus atau sebaliknya dalam hal menumbuhkan fitrah seksualitas. Menguatkannya jika dalam kondisi demikian, maka : a. Bergabunglah dengan komunitas pendidikan. Misal komunitas home education. Agar anak tak kehilangan figur ayah/ibu. b. Jika anak sudah usia 7 ke atas, sesekali boleh dititipkan 1 atau 2 malam pada keluarga sholih yang kita sudah sepaham ttg pendidikan anak. Usia 10 tahun bisa di magangkan di keluarga sholih. Keluarga sholih , yg punya pemahaman yg sama dengan kita ttg penumbuhan fitrah seksualitas. c. Cari sosok pengganti (bisa paman, bibi, atau kakek, nenek). d. Yang terpenting anak tidak kehilangan contoh/teladan sbg ayah/ibu. 3. Alhamdulillah dalam rumah, saya sama pasangan gak ada masalah yg berarti, kita kompak kecuali perihal kentut yg masih semena2 buangnya. Tapi saya dicoba dengan sosialisasi di luar, yg beberapa kali Alhamdulillah diangkat jadi ketua tapi tertekan akhirnya melepaskan diri, Sekarang lagi makin seperti org yang gak jujur, gak bisa punya pendirian, karena dipaksa keadaan. Bagaimana nasib anak-anak yang lihat emaknya begini? Kalau tiap saya ikut komunitas terus selalu mundur karena masalah? Apa akan ada efek negatif mereka memandang emaknya? Efek samping apa yg terburuk yg bisa terjadi sama mereka? Jawaban: Bismillaah, Saya coba memahami pertanyaan dari mak eun. Boleh dikoreksi bila kurang tepat yaa mak eun.. Di sini maksudnya, mak eun merasa kesulitan dan kerap bertemu masalah ketika beraktivitas publik. (Aktivitas publik disini bukan hanya bagi ibu yang bekerja tetapi juga saat ibu menceburkan diri dalam kegiatan sosial atau lainnya). Masalah ini mau tidak mau terbawa ke dalam perasaan serta aktivitas domestik, yang suka atau tidak suka akan disaksikan oleh anak dan suami. Saat membaca ini, terlintas materi ibu professional saat kita masih duduk di kelas matrikulasi. Ketika itu disampaikan bahwa ketika kita berperan dalam aktivitas publik, namun ternyata kita tidak mampu memanage-nya dengan baik hingga terbawa ke ranah domestik, maka bisa dipastikan ada sesuatu yang salah. Langkah terbaik adalah dengan keluar dari ranah publik dan fokus dahulu dalam domestik. Sampai bisa dipastikan dalam diri ini bahwa apapun yang terjadi di luar tidak berpengaruh apapun pada rasa dan polah kita. Bukan berarti tidak boleh ambil bagian dalam beraktivitas sosial. Boleh, dan itu bagus. Hanya saja, ketika badai menerpa, siapkah kita untuk menghadapinya dan tidak lari?
Jawaban: Bismillaah, Saya coba memahami pertanyaan dari mak eun. Boleh dikoreksi bila kurang tepat yaa mak eun.. Di sini maksudnya, mak eun merasa kesulitan dan kerap bertemu masalah ketika beraktivitas publik. (Aktivitas publik disini bukan hanya bagi ibu yang bekerja tetapi juga saat ibu menceburkan diri dalam kegiatan sosial atau lainnya). Masalah ini mau tidak mau terbawa ke dalam perasaan serta aktivitas domestik, yang suka atau tidak suka akan disaksikan oleh anak dan suami. Saat membaca ini, terlintas materi ibu professional saat kita masih duduk di kelas matrikulasi. Ketika itu disampaikan bahwa ketika kita berperan dalam aktivitas publik, namun ternyata kita tidak mampu memanage-nya dengan baik hingga terbawa ke ranah domestik, maka bisa dipastikan ada sesuatu yang salah. Langkah terbaik adalah dengan keluar dari ranah publik dan fokus dahulu dalam domestik. Sampai bisa dipastikan dalam diri ini bahwa apapun yang terjadi di luar tidak berpengaruh apapun pada rasa dan polah kita. Bukan berarti tidak boleh ambil bagian dalam beraktivitas sosial. Boleh, dan itu bagus. Hanya saja, ketika badai menerpa, siapkah kita untuk menghadapinya dan tidak lari?
Adapun bergaul dalam masyarakat, itu sangat dianjurkan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menganjurkan kita untuk bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik : ا الله ام ٌ نك ، ب أو ٌسلا نس لا اه م ، و لا انلا ل ب س “Bertaqwalah engkau kepada Allah dimanapun berada, dan perbuatan buruk itu hendaknya diikuti dengan perbuatan baik yang bisa menghapus dosanya, dan pergaulilah orang-orang dengan akhlaq yang baik” (HR. At Tirmidzi 1906, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami, 97). Namun ketika kita menemukan kemunkaran yang mana kita tidak dapat merubah dengan tangan dan lisan. Maka kita cukup doakan, jangan sampai kita ikut terseret ke dalamnya. Bila sudah ada tanda-tanda seperti itu, maka keluarlah dan carilah aktivitas yang lebih baik. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: اونوا و ىلع ربلا و لاو و اونوا ىلع م ا اود لاو “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2). Dan ingatlah bahwasanya kita dianjurkan pula untuk bersabar terhadap gangguan manusia. Sebab di bumi manapun kita bepijak, hal semacam ini pasti ada dan tak terelakkan. Diantaranya juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: ؤملا م يذلا طلا ٌ انلا ربصٌو ىلع مهاذأ رٌ م يذلا طلا ٌ انلا و ربصٌ ىلع مهاذأ “Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka” (HR. At Tirmidzi 2507, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 388, Ahmad 5/365, syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan hadits ini shahih dalam Mafatihul Fiqh 44) Jadi, meski kelak harus keluar dari ranah publik, tetap jadikan akhlak sebagai hiasan muamalah terbaik.. Wallahu'alam Referensi: https://muslim.or.id/19472-mana-yang-lebih-utama-uzlah-atau-bergaul-dengan
Komentar
Posting Komentar